[Vignette] Secret Admirer

secret

Secret Admirer written by

bepimee (@meydawk)

Casts

Kim Kibum Shinee | OC

Genre Life, Love, Lil bit sad || Rating Teenager || Length Vignette

Summary

Meski aku tak bisa meraihnya dan memilikinya, setidaknya aku masih memiliki kesempatan untuk berdiri di hadapannya dan menyatakan perasaanku.

A/N

Inspired by SHINee Selene 6. 23. Maybe you can have the feel if you hear that song ^~^

.

.

.

Langit mendung.

Tapi itu bahkan tidak mengurangi cahayanya. Kesan bahwa ia sedang bahagia tercetak jelas dalam gerak-geriknya. Tetap saja, ia tidak menyadari keberadaanku.

Laki-laki itu tersenyum, matanya menghilang sedikit demi sedikit dan pipinya membentuk cekungan yang selalu kusuka. Ia melambaikan tangannya pada seseorang, yang kuduga adalah kawan baiknya.

“Kau sudah lama menunggu?” tanya Jinki, kawannya itu. Menurut penelitianku, Kim Kibum dan Jinki sangat dekat. Itu karena mereka berteman sejak mereka menginjak sekolah dasar. Lagipula, Jinki adalah sosok yang baik.

“Tidak juga. Kau mau pesan apa? Biar kupesankan.”

Jinki mengucapkan pesanannya, aku tidak dapat mendengarnya dengan jelas karena ketukan suara sepatu terdengar mendekat. Segera kualihkan perhatianku dari meja bernomor sebelas itu, kembali ke mejaku sendiri. Nampan berisi secangkir teh dan kukis kering berada di depanku, disertai dengan senyuman pramusaji itu.

“Selamat menikmati.”

Aku curiga pramusaji itu bukan memintaku menikmati makanannya, melainkan menikmati Kibum yang duduk dua meja dariku. Namun aku mengangguk sekilas dan berusaha membalikkan diriku kembali, menatap Kibum yang tengah tertawa lagi.

Napasku menghentak begitu saja ketika pandangan Kibum bertemu denganku. Ia menatapku ragu tapi sebelum Kibum menatapku lebih jauh, aku sudah membelakanginya kembali sambil berharap ia tidak melihat wajahku dengan jelas.

oOo

 

Kim Kibum itu layaknya bintang.

Sinarnya menggelora dan selalu berhasil menarik diriku untuk mendekat, mendekat, dan lebih dekat lagi. Meskipun sedekat apapun itu, sang bintang tak pernah menatapku. Aku tahu, aku maklum diri, tapi bukan berarti aku tak berharap lebih. Harapan itu nyaris besarnya dengan badan Ibu pemilik kantin sekolah yang super gemuk, bahkan mungkin lebih besar. Namun aku juga mengerti, tak segala harapan akan terkabul. Dan dengan itu, aku sadar diri.

Seorang freaky sepertiku tentu saja bukan tipe seseorang yang akan dilirik oleh lelaki seperti Kibum. Bahkan tidak juga untuk lelaki bodoh rendahan. Awalnya ini memang agak menyedihkan. Seorang boleh saja melaporkanku dengan pidana stalker dan aku tak mungkin dapat menolaknya, tapi aku tidak bisa menghentikan ini. Perasaanku padanya susah sekali untuk dihentikan. Mengalir seperti debur ombak. Tapi… tak pula menemui ujung.

Kali ini, aku tidak sengaja bertemu dengan Kibum dan kawannya Taemin sedang duduk di salah satu kursi kantin. Kibum, tentu saja, terlihat super tampan dengan kemeja putihnya dan dasi yang dilonggarkan. Sayang sekali karena mungkin mood-nya sedang buruk sehingga ia kelihatan agak muram, entah untuk alasan apa.

Bersyukurlah karena aku duduk tepat di samping meja mereka. Samar, aku bahkan bisa mencium aroma parfum yang dikenakan Kibum. Sebagai stalker, aku jelas tahu aroma apa yang paling sering Kibum gunakan. Aku hampir lupa akan nampan makananku karena terlalu sibuk mencuri pandang. Kibum sendiri seperti tidak sadar, ia tipe yang suka melamun dan tentu saja kesempatan itu kugunakan untuk menatapnya lama-lama.

“Hai, Kibum,” sapa seorang perempuan dari kelas yang sama dengan Kibum. Aku tidak mengetahui namanya, namun aku tahu melalui tatapan matanya, bahwa perempuan itu tidak menganggap Kibum seseorang yang kelewat biasa. “Kau sendirian?”

Aku iri setengah mati padanya. Mengapa perempuan itu dengan mudah dapat mengobrol dengan Kibum? Sedang aku? Percuma. Merutuk dalam hati pun hanya akan menimbulkan ganjalan.

“Eh, tidak. Ada Taemin tadi. Sedang memesan makanan.”

Perempuan itu mengangguk-angguk. Ia kemudian tersenyum. “Kursinya tiga, kan? Boleh aku duduk di sini? Aku sendirian dan itu agak mengganggu.” Katanya. “Apa kau akan keberatan?”

Coba aku bisa bertingkah seberani ia!

“Tentu saja tidak. Kupikir Taemin juga tidak.” Sahut Kibum ringan sambil tersenyum, manis sekali. “Yeojin, Kau tidak berniat memesan?”

Perempuan bernama Yeojin itu pasti sedang terbang karena senyuman Kibum, ia terlihat kaget ketika ditanyai oleh Kibum.

“Um, tentu. Aku akan… ya, segera kembali.”

Tanpa sadar aku tersenyum mendapati raut wajah lega Kibum. Ia pasti tidak begitu suka dengan kehadiran Yeojin. Kelihatannya Kibum sadar sedang kuperhatikan karena ia menoleh ke kanan dan ke kiri, jadi aku segera menghadap nampanku kembali.

oOo

Istirahat kedua, aku lebih memilih duduk di perpustakaan dan mendengarkan lagu dari ponselku. Duduk di pojokan dan membaca buku adalah sesuatu yang sangat sering kulakukan, meski aku tak pernah bosan. Aku mulai mencari buku yang sesuai dengan keinginanku di antara rak-rak tinggi berlabel merah—tanda fiksi—yang berseberangan dengan rak berlabel biru—tanda non-fiksi—ketika mataku tertegun, Kibum berada di seberang dan juga sedang mencari buku.

Aku mencengkeram rak buku karena dadaku terasa terangkat begitu saja. Kibum terlihat tenang, santai, dan tampan dalam sekali waktu. Ia mengenakan jas sekolahnya—yang tadi tidak ia kenakan—dan melepas dasinya. Aku suka.

Kemudian aku merasa seperti terhanyut sedetik, kemudian dihempaskan kembali ke kenyataan.

Aku tak bisa tenggelam dalam pesona Kibum.

Kenyataan menyerbuku seperti sebilah pisau tajam, yang tiba-tiba ditusukkan ketika kau tidur. Awalnya tidak terasa, namun lama kelamaan ketika kesadaranmu datang, rasa sakit dan pahitnya begitu mendalam. Aku berpegangan pada rak dengan lebih erat. Kibum tidak mengenalku. Dan kupikir, itu bukan sesuatu yang dengan senang hati akan ia lakukan.

Aku mundur selangkah.

Tentu, segigih apapun usahaku, Kibum bukanlah sesuatu yang dapat tanganku capai.

oOo

 

Terhitung dari empat bulan yang lalu, sudah dua ribu potret Kibum kukumpulkan. Semuanya, tentu saja kuambil secara diam-diam, ketika Kibum sedang lengah atau sedang melamun. Sekarang potret itu berada di tanganku. Aku memandanginya dalam, dan berpikir rasanya pasti menyenangkan dapat berbicara dan berhadapan dengannya, tanpa merasa takut akan ketahuan sebagai seorang stalker-nya. Sayangnya, pasti akan sulit sekali apabila itu menjadi kenyataan.

Aku tak berani mengharapkannya. Aku bahkan tak berani menginginkannya. Seperti ketika kau menginginkan seseorang yang telah mati kembali. Mus-ta-hil. Kau pasti ingin berkata padaku untuk terus bersikap optimis, tapi nyatanya, hati kecilku pun tahu, Kibum takkan pernah menyadari eksistensiku.

Kini potret Kibum ketika sedang menidurkan kepala di meja kafe berada dalam genggamanku. Saat itu, hujan turun sangat deras dan aku tidak sengaja pergi ke kafe dimana Kibum sedang duduk di dalamnya. Karena hujan, dan karena aku dan Kibum sama-sama tidak membawa payung, kami tidak pulang dan tetap dalam posisi duduk kami meski makanan yang kami pesan telah habis.

Aku tersenyum tipis. Kenangan itu membuatku merasa, paling tidak, ada satu momen dimana keadaan menjebakku dan Kibum. Suatu keadaan yang seharusnya menyebalkan, tapi menjadi sangat menyenangkan. Tapi itu hanya bagiku.

Kemudian, mataku berhenti pada sebuah potret Kibum yang tengah membelakangiku. Karena kesalahanku, aku tidak berhasil memotretnya full dan hanya memotretnya dari kepala hingga punggung. Tapi kemudian, aku merasa bahwa potret ini memiliki makna. Makna yang sangat dalam.

Aku hanya bisa melihat punggungnya saja. Sama artinya dengan, aku tetap akan berada di belakangnya. Bukan di depannya, atau bahkan di sampingnya.

Kenyataan menyapaku kembali. Dan rasanya sakit. Meskipun aku tahu, meskipun aku memahami bahwa aku tentu tidak dapat memilikinya, meski aku tidak berani berharap ia memandangku, tetap saja… tusukannya sakit. Kau boleh mengatakannya, ini konyol, ini bodoh, ini tidak adil, ini tidak dan itu tidak, tapi bagiku, hanya jalur ini yang dapat kugunakan untuk menyalurkan rasa sukaku, meski tak seorang pun tahu.

Meskipun melelahkan, senyum Kibum seolah menyemangatiku. Matanya memancarkan cahaya kehidupanku. Dan gerak-geriknya menahanku dari kesendirian. Itu semua cukup. Aku tetap akan berada di belakangnya.

Meski tak sekalipun Kibum menatapku.

oOo

 

Hari ini adalah hari valentine. Dari pagi, bahkan di kelasku, banyak sekali anak laki-laki yang datang dan memberikan bungkusan cokelat pada pasangannya. Seperti tradisi biasanya, kegiatan mengajar diliburkan ketika hari konyol seperti valentine datang.

Sedari tadi aku sudah duduk di kolam sekolah yang dekat dengan kelas Kibum. Di pangkuanku terdapat sekotak cokelat yang kubuat semalaman. Aku ingin memberikannya kepada Kibum, tapi terlalu takut berhadapan dengannya. Awalnya aku akan meletakkannya di lokernya, tetapi aku tahu Kibum jarang menggunakan lokernya. Aku tidak mau cokelat ini terbuang sia-sia, dan karena itu aku harus memutar otak untuk mencari jalan agar cokelat ini sampai di tangan Kibum.., tanpa Kibum tahu siapa pengirimnya.

Kolam sekolah sangat sepi. Tidak ada satupun di sini, sehingga aku dapat bersyukur karena tidak akan ada yang melihatku menenteng-nenteng cokelat.

Arlojiku menunjukkan pukul sebelas. Oh, tidak! Jika sampai dua jam kelas Kibum belum sepi, aku pasti tidak akan bisa memberikan cokelat ini padanya, dan kerja kerasku akan sia-sia begitu saja…

Lima belas menit kemudian, masih ada dua orang di kelas dan salah satunya adalah Kibum. Nasib sial.  Aku nekat pergi ke lorong samping kelas itu, dan berdiri di sana seperti orang idiot. Samar, aku dapat mendengar Kibum sedang berbicara.

“Program studi itu menghabiskan dua tahun. Itu waktu yang cukup sedikit.” Kata Kibum dan suaranya terdengar khas. “Hanya itu satu-satunya kesempatanku,”

“Jadi… kau berniat pergi ke London besok?”

Tercekat. London? Besok? Aku limbung.

“Yah, tentu saja.”

“Berarti hari ini semacam hari terakhirmu di Korea?”

“Dua tahun lagi aku akan kembali kok.”

Aku menggigit bibirku sendiri. Tidak tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya, aku meninggalkan kotak cokelat itu di sana dan berlari. Air mataku enggan bertahan pada tempatnya dan aku tidak ingin menangis di sini. Sungguh.

oOo

 

Sekarang sudah pukul delapan. Keesokan harinya. Sekolah libur.

Aku tahu tak seharusnya aku berdiam diri di kamarku. Seharusnya aku pergi menemui Kibum dan mengatakan segalanya, sebelum terlambat. Seandainya ada suatu keberanian untuk menatap Kibum dalam diriku. Aku bahkan tidak tahu kapan Kibum akan berangkat ke London. Tapi… aku tak siap. Aku tidak mau menyatakan perasaanku dan menerima penolakan, serta Kibum akan mulai merasa aneh terhadapku dan aku tak mau itu terjadi. Aku lebih memilih memendam ini sendirian daripada menyatakannya langsung pada Kibum, dan melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa Kibum menjauhiku, bukan berarti selama ini ia dekat denganku.

Hanya saja… itu akan menjadi tindakan yang terlalu jauh untuk orang sepertiku.

Aku tak bisa meraihnya, bahkan setelah kukerahkan seluruh tenagaku… aku tetap tak bisa.

Namun aku tahu. Meski aku tak bisa meraihnya dan memilikinya, setidaknya aku masih memiliki kesempatan untuk berdiri di hadapannya dan menyatakan perasaanku.

Setidaknya, kuharap begitu.

oOo

 

Aku telah memutari rumah Kibum setidaknya sebelas kali. Belum ada tanda-tanda Kibum akan keluar. Atau seseorang dari dalam yang dapat kutanyai mengenai Kibum. Aku merasa panik, ketakutan, dan sesungguhnya itu adalah perasaan yang paling tidak nyaman. Seperti terombang-ambing antara di antara dua kepastian, dan tidak mengetahui petunjuk apapun mana yang akan menjadi kepastian nyata.

Jam di ponselku menunjukkan pukul setengah sembilan. Kecemasan menggelayutiku. Bagaimana kalau Kibum ternyata sudah pergi? Apa… aku gagal untuk menyatakan perasaanku?

Aku terduduk di depan pekarangan rumah Kibum. Kesempatanku sudah hilang karena sekarang pasti Kibum sudah berada dalam pesawatnya, dan kemudian pergi, bahkan sebelum aku melihat senyum yang ia tujukan kepadaku.

Kriet.

Suara gerbang yang terbuka terdengar dan aku setengah meloncat dari tempat duduk kayuku. Aku setengah menghilang, tertutupi oleh tanaman rambat yang sangat tebal. Mataku menangkap seseorang berpakaian warna hitam keluar dari dalam, diikuti oleh Kibum. Kibum. Ia belum berangkat dan aku memiliki kesempatan untuk melihatnya kembali.

Aku menahan napas dan kakiku terasa lemah dengan sendirinya. Ingin sekali aku berbalik dan berlari pergi. Membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja. Namun hatiku tak kunjung terima, aku tak mau melepaskannya. Aku harus membeberkan kisah ini pada Kibum.

Bahwa aku memiliki dua ribu potretnya yang kuambil secara diam-diam, bahwa aku membuatkannya cokelat dan tidak mampu untuk memberikannya pada Kibum sendiri, bahwa aku senang bisa melihat wajahnya dari celah rak buku, bahwa aku bahagia bisa terjebak dalam hujan bersamanya di sebuah kafe, bahwa aku menyukainya dan sudah tentu ia tidak akan menyukaiku balik..

Kemudian aku keluar dari semak itu.

Kim Kibum membelakangiku dan aku hanya bisa menatap punggungnya. Sama seperti potret yang kuambil. Dan aku… tidak berharap banyak untuk ini.

“Kim Kibum..”

Bibirku bergetar begitu nama itu keluar dari mulutku. Sangat pelan dan aku tidak menyangka suaraku dapat terdengar seputus asa itu.

Kibum menoleh. Ia menatapku dengan alis terangkat. Dan rasanya aku ingin mati saja karena ini pertama kalinya ia menatap ke arahku karena aku memanggilnya, bukan karena ketidaksengajaan.

“Oh, hai..”

“Kibum-a, ada yang ingin kukatakan.” Kataku, merasa seperti tidak menyentuh tanah. “K-kuharap kau tidak sedang dalam keadaan terburu-buru.”

“Tidak, tentu saja tidak.”

Aku ingin menangis keras ketika mendengar suaranya menyahuti ucapanku.

“Kuharap kau tidak menganggap ini konyol atau tipuan.” Aku menarik napas. “Aku memata-mataimu setiap hari. Aku mengikutimu. Aku memotretmu diam-diam. Aku memandangimu ketika kau berada di dekatku. Aku mencari fakta-fakta mengenaimu. Aku mencari alamat rumahmu. Aku tahu merk parfummu. Aku tahu tujuan hidupmu. Aku tahu kau orang seperti apa. Aku tahu ketika kau tersenyum matamu akan menghilang sedikit demi sedikit. Aku tahu kau bersahabat dengan Jinki sejak sekolah dasar. Aku tahu kau suka melamun dan kau tidak suka diganggu ketika melakukan itu. Aku tahu kamarmu bercat putih polos. Aku tahu—”

Aku tersengal dan air mataku mengalir.

“Dan aku menyukaimu. Benar-benar menyukaimu. Dan aku membuatkanmu cokelat kemarin tapi aku tidak mampu memberikannya langsung kepadamu.” kataku dengan suara tambah bergetar. “Tapi aku tahu, kau tidak mungkin menyukaiku. Aku tidak melakukan ini untuk membuatmu merasa tidak enak kepadaku, aku hanya ingin mengatakannya saja dan aku sama sekali tidak berharap kau akan membalasnya. Jadi jangan khawatirkan apapun. Sekarang aku akan pergi dan maaf karena aku mengganggumu.”

Aku akan segera pergi sebelum suara Kibum terdengar.

“Hei,” katanya. “Kau bilang tadi kau menyukaiku, kan?”

Aku mengangguk dengan pelan.

“Kalau begitu, mau membagi nomor ponselmu kepadaku dan menungguku?”

Mataku membesar.

Kibum berjalan ke arahku dan tersenyum.

“Mendengar kata-katamu tadi, kau kelihatan seperti seseorang yang putus asa. Bukan begitu? Tapi, kelihatannya kau salah. Sepertinya aku mulai menyukaimu.”

oOo

 

Dering ponsel menggangguku di pagi hari ini. Aku membuka mata dengan malas dan mengangkatnya sebelum melihat caller id-nya.

“Ya? Halo ini siapa.” Sapaku dengan suara enggan.

“Hai, kau terbangun, ya? Mau pergi mandi dan menjemputku di bandara? Oh, dan siapkan kakimu, ya. Hari ini aku mau mengajakmu pergi menemui desainer favoritku.”

“Desainer? Untuk apa?”

“Untuk apa? Bagaimana mungkin kau masih menanyakannya setelah menyetujui lamaranku kemarin?” kata Kibum sambil mendecak. “Tentu saja membuat gaun pernikahanmu, bodoh. Pergi segera, oke? Kau tahu aku tidak–”

“KIM KIBUM APA TADI YANG KAU KATAKAN?! KAU BERENCANA AKAN MENIKAHIKU?!”

“Ya.”

“Apa kau gila hei kau baru saja sampai di sini dan kau akan—”

“Pergilan mandi segera, pemalas! Apa kau ingin aku mati kebosanan di sini? Dan oh, sampaikan salam hangatku pada Ayah dan Ibumu, ya!”

THE END

A/N:

Oke, aku tahu ini gagal banget dan juga buatnya cuman dua jam dan itu tengah malem pula — jadi maklumin aja kalau ceritanya setengah ngelantur dari lagunya .-.

Belakangan aku males banget post di wordpress. Entah kenapa formatnya beda ya di MS Word. Di MS Wordnya udah aku edit dan kukira kalau ku-copy langsung ke wordpressnya editannya gak berubah, eh ternyata berubah 😦 jadilah aku ngedit dari awal lagi. Kampret emang :”

Oh dan aku lagi naksir sama Kibum dan entah kenapa aku pen bikin itu wkwkwk meskipun jadinya cuman vignette doang. Aku lagi pengen bikin SHINee Love Fiction tapi aku nggak tahu apa itu beneran jadi apa enggak. Tapi aku udah selesain punyanya Jinki dan bakal ku-post kalau gak sekarang ya kapan-kapan -_-v

Oh ya, semua ff yang kushare di sini also posted in my private blog oke. Jadi jangan ngira aku plagiat atau gimana karena aku anti banget sama gituan hehe.

Makasih yang udah baca dan silakan kalau mau visit page perkenalanku. Bisa cek di page ini

Thankyou everyone! See u in my another fanfiction hehe ❤

 

4 responses to “[Vignette] Secret Admirer

  1. Aahhh~ Keren, tapi seharusnya finnya ditaruh di yg pas Keynya bilang ”kurasa aku mulai menyukaimu”
    Soalnya mnurutku lebih enak aja gitu ‘w’

Leave a comment